Untuk Ayah Tercinta
Aku menulis surat ini dengan perasaan sedih dan sangat menyesal. Saat ayah membaca surat ini, aku telah pergi meninggalkan rumah.
Kiriman Email Gatot Ableh (Nov 25, 2008 3:24 pm)
Kiriman Email Gatot Ableh Nov 11, 2008 10:28 am
Sindu anak yang manis dan termasuk pintar dalam usianya yg baru 8 tahun. Dia sangat tidak suka makan curd rice ini. Ibu dan istriku masih kuno, mereka percaya sekali kalau makan curd rice ada “cooling effect“-nya.
Aku mengambil mangkok dan berkata “Sindu sayang, maukah kamu makan beberapa sendok curd rice ini? Kalau tidak, nanti ibumu akan teriak-teriak sama Ayah”.
Aku bisa merasakan istriku cemberut dibelakang punggungku. Tangis Sindu mereda dan ia menghapus air mata dengan tangannya dan berkata “Boleh ayah, akan saya makan curd rice ini tidak hanya beberapa sendok tapi semuanya akan saya habiskan, tapi saya akan minta…” agak ragu-ragu, sejenak akan minta sesuatu bila semua nasinya habis.
“Apakah ayah mau berjanji memenuhi permintaan saya?”
Aku menjawab, “oh pasti sayang”.
Sindu tanya sekali lagi, “betul nih yah?”
Aku sedikit khawatir dan berkata, “Sindu jangan minta komputer atau barang-barang lain yang mahal yah, karena ayah saat ini tidak punya uang”. Sindu menjawab, “jangan khawatir, Sindu tidak minta barang-barang mahal kok.”
Kemudian Sindu perlahan-lahan dan kelihatannya sangat menderita, dia bertekad menghabiskan semua nasi susu asam itu. Dalam hati aku marah pada istri dan ibuku yang memaksa Sindu untuk makan sesuatu yang tidak disukainya.
Juga ibuku menggerutu, “jangan terjadi dalam keluarga kita, dia terlalu banyak nonton TV. Dan program-program TV itu sudah merusak kebudayaan kita.”
Sindu dengan menangis berkata, “Ayah sudah melihat bagaimana menderitanya saya menghabiskan nasi susu asam itu dan ayah sudah berjanji untuk memenuhi permintaan saya, kenapa Ayah sekarang mau menarik/menjilat ludah Ayah sendiri? Bukankah Ayah sudah mengajarkan pelajaran moral bahwa kita harus memenuhi janji kita terhadap seseorang apapun yang terjadi, seperti Raja Harishchandra (Raja India jaman dahulu kala) untuk memenuhi janjinya rela memberikan tahta, harta/kekuasaannya, bahkan nyawa anaknya sendiri.”
Sekarang aku memutuskan untuk memenuhi permintaan anakku. Janji kita harus ditepati. Secara serentak istri dan ibuku berkata apakah aku sudah gila. “Tidak” jawabku. Kalau kita menjilat ludah sendiri, dia tidak akan pernah belajar bagaimana menghargai dirinya sendiri. Sindu permintaanmu akan kami penuhi.
Dengan kepala botak, wajah Sindu nampak bundar dan matanya besar dan bagus. Hari Senin, aku mengantarnya ke sekolah, sekilas aku melihat Sindu botak berjalan ke kelasnya dan melambaikan tangan kepadaku. Sambil tersenyum aku membalas lambaian tangannya. Tiba-tiba seorang anak laki-laki keluar dari mobil sambil berteriak, “Sindu tolong tunggu saya!” Yang mengejutkanku ternyata, kepala anak laki-laki itu botak. Aku berpikir mungkin botak model jaman sekarang.
Wanita itu berhenti sejenak, menangis tersedu-sedu, “bulan lalu Harish tidak masuk sekolah, karena pengobatan chemotherapy kepalanya menjadi botak jadi dia tidak mau pergi ke sekolah takut diejek/dihina oleh teman-teman sekelasnya. Nah Minggu lalu Sindu datang ke rumah dan berjanji kepada anak saya untuk mengatasi ejekan yang mungkin terjadi, hanya saya betul-betul tidak menyangka kalau Sindu mau mengorbankan rambutnya yang indah untuk anakku Harish. Tuan dan istri tuan sungguh diberkati Allah mempunyai anak perempuan yang berhati mulia.”
Aku berdiri terpaku dan aku menangis. Anakku, ajari aku tentang cinta-kasih.
Posted on September 25, 2007 by Abu Ja'far Amri A. Fillah Al Atsary
Entah benar atau tidaknya kisah ini, semoga kita dapat mengambil pelajaran darinya (Saif Ali).
Suatu hari suami saya rapat dengan beberapa rekan bisnisnya yang kebetulan mereka sudah mendekati usia 60 tahun dan dikaruniai beberapa orang cucu. Di sela-sela pembicaraan serius tentang bisnis, para kakek yang masih aktif itu sempat juga berbagi pengalaman tentang kehidupan keluarga di masa senja usia.
Suami saya yang kebetulan paling muda dan masih mempunyai anak balita, mendapatkan pelajaran yang sangat berharga, dan untuk itu saya merasa berterima kasih kepada rekan-rekan bisnisnya tersebut. Mengapa? Inilah kira-kira kisah mereka.
Salah satu dari mereka kebetulan akan ke Bali untuk urusan bisnis dan minta tolong diatur tiket kepulangannya melalui Surabaya karena akan singgah ke rumah anaknya yang bekerja disana. Di situlah awal pembicaraan 'menyimpang' dimulai. Ia mengeluh, Susah anak saya ini, masak sih untuk bertemu bapaknya saja sulitnya bukan main."
"Kalau saya telepon dulu, pasti nanti dia akan berkata jangan datang sekarang karena masih banyak urusan. Lebih baik datang saja tiba-tiba, yang penting saya bisa lihat cucu."
Kemudian itu ditimpali oleh rekan yang lain. "Kalau Anda jarang bertemu dengan anak karena beda kota, itu masih dapat dimengerti," katanya. Anak saya yang tinggal satu kota saja, harus pakai perjanjian segala kalau ingin bertemu." "Saya dan istri kadang-kadang merasa begitu kesepian, karena kedua anak saya jarang berkunjung, paling-paling hanya telepon."
Ada lagi yang berbagi kesedihannya, ketika ia dan istrinya mengengok anak laki-lakinya, yang istrinya baru melahirkan di salah satu kota di Amerika. Ketika sampai dan baru saja memasuki rumah anaknya. Sang anak sudah bertanya, "Kapan Ayah dan Ibu kembali ke Indonesia?"
"Bayangkan! Kami menempuh perjalanan hampir dua hari, belum sempat istirahat sudah ditanya kapan pulang."
Apa yang digambarkan suami saya tentang mereka, adalah rasa kegetiran dan kesepian yang tengah melanda mereka di hari tua. Padahal mereka adalah para profesional yang begitu berhasil dalam kariernya. Suami saya bertanya, "Apakah suatu saat kita juga akan mengalami hidup seperti mereka?" Untuk menjawab itu, saya sodorkan kepada suami saya sebuah syair lagu berjudul Cat's In the Cradle karya Harry Chapin. Beberapa cuplikan syair tersebut saya terjemahkan secara bebas ke dalam bahasa Indonesia agar relevan untuk konteks Indonesia.
Serasa kemarin ketika anakku lahir dengan penuh berkah. Aku harus siap untuknya, sehingga sibuk aku mencari nafkah sampai 'tak ingat kapan pertama kali ia belajar melangkah. Pun kapan ia belajar bicara dan mulai lucu bertingkah
Namun aku tahu betul ia pernah berkata, "Aku akan menjadi seperti Ayah kelak" "Ya betul aku ingin seperti Ayah kelak"
"Ayah, jam berapa nanti pulang?"
"Aku tak tahu 'Nak, tetapi kita akan punya waktu bersama nanti, dan tentu saja kita akan mempunyai waktu indah bersama"
Ketika saat anakku ulang tahun yang kesepuluh; Ia berkata, "Terima kasih atas hadiah bolanya Ayah, wah ... kita bisa main bola bersama. Ajari aku bagaimana cara melempar bola" Tentu saja 'Nak, tetapi jangan sekarang, Ayah banyak pekerjaan sekarang" Ia hanya berkata, "Oh ...."
Ia melangkah pergi, tetapi senyumnya tidak hilang, seraya berkata, "Aku akan seperti ayahku".
"Ya, betul aku akan sepertinya"
"Ayah, jam berapa nanti pulang?"
"Aku tak tahu 'Nak, tetapi kita akan punya waktu bersama nanti, dan tentu saja kita akan mempunyai waktu indah bersama."
Suatu saat anakku pulang ke rumah dari kuliah; Begitu gagahnya ia, dan aku memanggilnya, "Nak, aku bangga sekali denganmu, duduklah sebentar dengan Ayah"
Dia menengok sebentar sambil tersenyum, "Ayah, yang aku perlu sekarang adalah meminjam mobil, mana kuncinya?"
"Sampai bertemu nanti Ayah, aku ada janji dengan kawan"
"Nak, jam berapa nanti pulang?"
"Aku tak tahu 'Yah, tetapi kita akan punya waktu bersama nanti dan tentu saja kita akan mempunyai waktu indah bersama"
Aku sudah lama pensiun dan anakku sudah lama pergi dari rumah; Suatu saat aku meneleponnya.
"Aku ingin bertemu denganmu, Nak" Ia bilang, "Tentu saja aku senang bertemu Ayah, tetapi sekarang aku tidak ada waktu. Ayah tahu, pekerjaanku begitu menyita waktu dan anak-anak sekarang sedang flu. Tetapi senang bisa berbicara dengan Ayah, betul aku senang mendengar suara Ayah"
Ketika ia menutup teleponnya, aku sekarang menyadari; Dia tumbuh besar persis seperti aku; Ya betul, ternyata anakku persis seperti aku. Rupanya prinsip investasi berlaku pula pada keluarga dan anak. Seorang investor yang berhasil mendapatkan return yang tinggi, adalah yang selalu peduli dan menjaga apa yang diinvestasikannya. Saya sering melantunkan cuplikan syair tersebut dalam bahasa aslinya,
"I'm gonna be like you, Dad, you know I'm gonna be like you",
kapan saja ketika suami saya sudah mulai melampaui batas kesibukannya.
Ternyata cukup manjur. "Lutfi ... ayo kita kasih makan kelinci," katanya kepada anak kami yang berusia 3 tahun.
Prinsip diatas dapat kita terapkan dalam kehidupankita sehari hari maupun dalam tugas kerja kita mengembangkan manusia yang menjadi tanggung jawab kita ataupun bawahan kita.
Apabila kita mempunyai bawahan dengan kwalitas kerja yang kurang atau dibawah standard maka...... sadarlah bahwa kejadian ini mungkin merupakan refleksi atau bentukan dari diri kita sendiri jadi jangan salahkan mereka.... jangan mem-"vonis" mereka tapi coba cari titik awal timbulnya masalah dan coba introspeksi.
SEMOGA INI BERMANFAAT UNTUK KITA SEMUA.
Sumber: Josepha Marta