Janji adalah Janji
Kiriman Email Gatot Ableh Nov 11, 2008 10:28 am
Sindu anak yang manis dan termasuk pintar dalam usianya yg baru 8 tahun. Dia sangat tidak suka makan curd rice ini. Ibu dan istriku masih kuno, mereka percaya sekali kalau makan curd rice ada “cooling effect“-nya.
Aku mengambil mangkok dan berkata “Sindu sayang, maukah kamu makan beberapa sendok curd rice ini? Kalau tidak, nanti ibumu akan teriak-teriak sama Ayah”.
Aku bisa merasakan istriku cemberut dibelakang punggungku. Tangis Sindu mereda dan ia menghapus air mata dengan tangannya dan berkata “Boleh ayah, akan saya makan curd rice ini tidak hanya beberapa sendok tapi semuanya akan saya habiskan, tapi saya akan minta…” agak ragu-ragu, sejenak akan minta sesuatu bila semua nasinya habis.
“Apakah ayah mau berjanji memenuhi permintaan saya?”
Aku menjawab, “oh pasti sayang”.
Sindu tanya sekali lagi, “betul nih yah?”
Aku sedikit khawatir dan berkata, “Sindu jangan minta komputer atau barang-barang lain yang mahal yah, karena ayah saat ini tidak punya uang”. Sindu menjawab, “jangan khawatir, Sindu tidak minta barang-barang mahal kok.”
Kemudian Sindu perlahan-lahan dan kelihatannya sangat menderita, dia bertekad menghabiskan semua nasi susu asam itu. Dalam hati aku marah pada istri dan ibuku yang memaksa Sindu untuk makan sesuatu yang tidak disukainya.
Juga ibuku menggerutu, “jangan terjadi dalam keluarga kita, dia terlalu banyak nonton TV. Dan program-program TV itu sudah merusak kebudayaan kita.”
Sindu dengan menangis berkata, “Ayah sudah melihat bagaimana menderitanya saya menghabiskan nasi susu asam itu dan ayah sudah berjanji untuk memenuhi permintaan saya, kenapa Ayah sekarang mau menarik/menjilat ludah Ayah sendiri? Bukankah Ayah sudah mengajarkan pelajaran moral bahwa kita harus memenuhi janji kita terhadap seseorang apapun yang terjadi, seperti Raja Harishchandra (Raja India jaman dahulu kala) untuk memenuhi janjinya rela memberikan tahta, harta/kekuasaannya, bahkan nyawa anaknya sendiri.”
Sekarang aku memutuskan untuk memenuhi permintaan anakku. Janji kita harus ditepati. Secara serentak istri dan ibuku berkata apakah aku sudah gila. “Tidak” jawabku. Kalau kita menjilat ludah sendiri, dia tidak akan pernah belajar bagaimana menghargai dirinya sendiri. Sindu permintaanmu akan kami penuhi.
Dengan kepala botak, wajah Sindu nampak bundar dan matanya besar dan bagus. Hari Senin, aku mengantarnya ke sekolah, sekilas aku melihat Sindu botak berjalan ke kelasnya dan melambaikan tangan kepadaku. Sambil tersenyum aku membalas lambaian tangannya. Tiba-tiba seorang anak laki-laki keluar dari mobil sambil berteriak, “Sindu tolong tunggu saya!” Yang mengejutkanku ternyata, kepala anak laki-laki itu botak. Aku berpikir mungkin botak model jaman sekarang.
Wanita itu berhenti sejenak, menangis tersedu-sedu, “bulan lalu Harish tidak masuk sekolah, karena pengobatan chemotherapy kepalanya menjadi botak jadi dia tidak mau pergi ke sekolah takut diejek/dihina oleh teman-teman sekelasnya. Nah Minggu lalu Sindu datang ke rumah dan berjanji kepada anak saya untuk mengatasi ejekan yang mungkin terjadi, hanya saya betul-betul tidak menyangka kalau Sindu mau mengorbankan rambutnya yang indah untuk anakku Harish. Tuan dan istri tuan sungguh diberkati Allah mempunyai anak perempuan yang berhati mulia.”
Aku berdiri terpaku dan aku menangis. Anakku, ajari aku tentang cinta-kasih.
0 comments:
Post a Comment